KREASI

Sebuah Kata yang Hilang


Tak ada yang special dariku yang hari ini genap berusia 17 tahun. Tiada perayaan yang meriah maupun sederhana. Bahkan hari ini terlihat sama saja dengan hari-hari biasanya, hanya aku dan Tuhan sepertinya yang tahu. Kulangkahkan kaki menuju garasi untuk memanaskan motor yang akan kukendarai ke sekolah. Berbekal uang 10 ribu tanpa sarapan terlebih dahulu karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.05, hanya 15 menit lagi sebelum aku terlambat ke sekolah yang jaraknya 4 kilometer dari rumahku. Kecepatan ekstra membuaat bulu kuduku merinding, karena biasanya aku sangat pelan seperti siput dalam hal mengendarai motor, apalagi traumaku yang pernah jatuh mengendarai motor. Aish, saking apesnya aku sudah ditunggui guru rupanya di depan gerbang, perasaan deg-degan ketika berjalan ke arah gerbang setelah memarkir motor di parkiran luar sekolah. Aku hanya mencoba berjalan cepat dan tertunduk malu. “Kenapa baru dating kamu nak?” tanya Pak Guru yang berkumis itu, yang aku ketahui namanya Pak Rudi, guru yang mengajar di kelas 3, bukan kelas 2 sepertiku. “Maaf Pak, tadi saya mengantar adik dulu yang arahnya berlawanan” alasanku yang tak masuk akal keluar begitu saja. Mana aku punya adik, adik sepupu baru ada, pikirku. “Lain kali kamu harus lebih pagi, biar tidak terlambat, sekarang cepat ke kelas. Bel sudah dari 5 menit yang lalu berbunyi.” Ujar Pak Rudi dengan wajah masam, sepertinya ia berniat untuk memarahiku yang terlambat, namun alasanku yang indah membuatnya tercengang. Akupun menjawab dengan lantang “Iya, Pak. Terimakasih. Saya tidak akan terlambat lagi…” dan berlari sekencang mungkin, hmm, maksudku berjalan cepat. Keesokan harinya pun aku terlambat lagi, memang sedang nasib baik. Akupun mengendap-endap seperti maling yang takut ketahuan, ketika kulihat Pak Rudi sedang memarahi 2 orang siswa yang salah satunya Andien, namun untungnya aku berjalan di belakang Pak Rudi, jadi ketika beliau menoleh ke belakang, hanya ada angin bertiup karena aku telah lari seribu langkah. “Ih, lho curang Ka! Giliran guw selalu aja apes…” rengek Andien padaku ketika jam istirahat. “Lo? Kok nyalahin guw sih Ndien, Salahin tuh Bapak Gurunya yang- hmm,,, huk huk uhuk…” kalimatku terputus sampai disana, dan memberikan sinyal pada Andien untuk tak berbicara. Karena beberapa guru sedang melewati tempat kami duduk berbincang-bincang. “Siang Pak…” sapa aku dan Andien bersamaan. Kemudian kami saling berpandangan dan tertawa ketika guru-guru tersebut lewat. Ketika saat bel pulang sekolah, aku dan Andien bukannya pulang kerumah, kami harus kerja kelompok untuk membuat tugas kimia di rumah Karin yang lumayan jauh dan kami tak tahu tepat rumahnya, karena itu kami langsung kesana. Berjam-jam kami mengorak-orekkan jawabannya, namun masih ragu hingga Bela dan Nita datang membawa photo copy jawaban Nicky di jenius kimia, ngga jenius amat sih sampe ngalahin Albert Einstein gitu. Setidaknya dia sumber jawaban kami di kelas. Sambil menulis jawaban di double polio, kamipun berbincang-bincang membicarakan sesuatu yang temanya ngga jelas nyambung kemana saking konsentrasinya ke tugas. “Oya, 2 hari lagi hari Ibu, kamu udah nyiapin hadiah, Bel?” tanya Andien memulai tema baru. “Wah, iya! Hampir lupa guw…” timpal Karin. “Aku sih lagi ngumpulin uang nih. Belum kepikiran mau ngasi apa…” jawab Bela beberapa menit kemudian setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya di Landasan Teori. “Ngasi apa bagusan ya,menurut kalian apa” tanya Andien kembali kepada kita semua. “Baju? Sepatu? Buku?” sahut Nita. “Ah, lho kira Ibu guw pelajar. Kalo mnurut lho, Ka?” tanya Andien kepadaku yang sedari tadi asyik menulis dan hanya menjadi pendengar setia. “Hmm… sesuatu yang diinginkannya gitu.” Jawabku dengan sedikit lola (loading lama). “Ish, apa ya? Ah, guw tanya nanti sampai rumah aja deh. Dan akhirnya, bukan akhir karena menyelesaikan tugas, lebih ke akhir ingin pulang kerumah karena sudah sore menjelang malam, terpaksa dan memang udah capek banget nulis, kamipun memphoto copy copyan tersebut dan ada yang memphoto dengan kamera hp. “Kami pulang ya Rin, pulang Tante.” Ujar kami berbarengan pada Nita dan juga Ibunya yang duduk di teras bersama tetangga berbincang-bincang. Karena jalan yang masih asing, aku mengikuti Andien yang arah rumahnya sama denganku dari belakang, tapi hanya sampai di baypass. Selebihnya aku sendirian, dan juga aku telah terbiasa ke rumah Andien sehingga hafal deh jalannya di luar kepala. Selama perjalanan aku kepikiran teman-temanku yang sibuk memikirkan hadiah saat hari Ibu. Bagaimana denganku? aku bahkan tak pernah mendengar dan bertemu ibuku setelah 4 tahun lalu, ketika ia memutuskan meninggalkan keluarga ke tempat asalnya di luar pulau ini tanpa mengucapkan salam perpisahan. Ketika itu usiaku hanya 13 tahun, tanpa pernah menyampaikan apa perasaanku, kecewa, sedih maupun senang kepadamu. Tak pernah sekalipun. Aku hanya seorang remaja yang tumbuh tanpa perasaan bersosialisasi yang baik. Di masyarakat pun aku di kenal pendiam, memang semenjak SMP aku menjadi pribadi yang pendiam, jarang tersenyum dan bahkan hanya tahu yang namanya belajar. Tapi semenjak SMA aku sudah mulai sedikit berubah dengan terlihat ceria dan tabah. Rasanya seperti masa SMA dan SMP ku terbalik, aku lebih bermain-main saat SMA ini, bahkan aku kadang kangen masa SMP, dimana aku jadi salah satu siswa berprestasi dan pintar, tapi ketika SMA… semua lenyap dariku. Aku tak mengerti, ketika aku telah mencoba membuka diri dan bersikap ceria, malahan aku tak sebersinar dulu. Aku hanya seorang remaja putri biasa tanpa prestasi yang membanggakan. Bagaimana aku akan bisa mencari PT (Perguruan Tinggi) yang aku inginkan kalau begini. Aku telah mencoba berbagai kata-kata motivasi untuk memotivasi diri, namun hasilnya nihil. Aku takut akan mengecewakan, terutama ayahku yang telah bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan kakak-kakakku. Aku berpikir lebih baik aku muram dan suram namun rajin dan pintar ketika SMP daripada terbuka dan ceria tapi bodoh, pikirku. “Mika,” panggil ayahnya dengan suara paraunya. “Iya, yah. Tunggu dulu. Mika masih nyapu.” Cepat-cepat ku bereskan sampah yang berserakan dan menuju ke tempat ayah duduk di ruang tamu. “Ibumu tadi menelepon ayah, cepatlah kamu ngomong sana.” Deg, mendengar kata “IBU” hatiku bergetar keras. Sudah sekian lama aku tak pernah mengucapkan kata itu, bahkan terdengar asing di telingaku. Karena tak siap aku pun berdalih biar kakak saja yang berbicara di telepon, aku ingin mandi, tegasku. Bukannya mandi, aku malah berdiam diri di kamar mandi dan memikirkan ibuku, terbersitlah saat-saat setiap kali teman-teman membicarakan ibu mereka, aku hanya bisa diam dan menjadi pendengar yang baik. Setiap orang-orang menanyakan ibuku, hatiku seperti sakit karena terbakar, mereka mengatainya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab pada anaknya, dan semua keluarga menyalahkannya. Yah, memang benar mereka, namun aku tak habis piker kenapa ayah memaafkannya dengan mudah. Aku bukannya mau bersikap durhaka, namun setidaknya ia mendapat perlakuan yang membuatnya sadar akan kesalahannya. Apalagi ketika dahulu… kembali terkenang masa-masa ketika aku terbangun di malam hari karena suara berisik pertengkaran ayah dan ibu, yang saaat itu aku hanya bisa menangis sembunyi-sembunyi tanpa bisa membela dan membantu. Dan semua kenangan-kenangan ketika aku dan kakak dimarahi karena kesalahan kecil, ibu kami memang memiliki temperamen yang tinggi, namun itu sungguh kenangan yang menyakitkan, juga masa-masa sulit keluarga kami ketika ayah harus beristirahat karena sebuah kecelakaan. Tanpa terasa air mata menetes begitu banyak, berpadu dengan air di dalam bak. Semua kenangan itu membuatku pusing. Aku berharap ia akan sadar dengan kesalahannya, walaupun dia kembali, namun ia harus melewati berbagai cibiran dari keluarga ayah maupun tetangga dan itu membuatku kasihan. Agama mengajarkan untuk kita tak durhaka pada orang tua, apalagi ibu karena surge ada di telapak kakinya. Antara senang, rindu, kecewa, sakit berpadu di hatiku dan otakku tak mampu tenang. Aku bahkan harus berbicara dengannya di telepon sekembalinya aku dari mandi. Dan untuk pertama kalinya lagi aku mengucapkan kata “IBU” kata yang sempat hilang, bukan kata “Menyerah atau Impossiblle” melainkan kata IBU, IBU, IBU, IBU…. Kata yang telah asing di telingaku untuk kuucapkan,,,

ADE EMELAN TANTRI NELANI
SMA NEGERI 1 GIANYAR
Categories: Cerpen, KREASI | Tags: , , , | Leave a comment

KETIKA RASA NASIONALISME DI PERTANYAKAN


Semua berawal ketika usiaku menginjak kelas 2 SMP, saat itu ayahku tercinta harus menyusul ibuku yang 3 tahun lalu meninggal karena suatu penyakit kanker ganas yang menyerangnya, kini ayahku mengembuskan nafas terakhirnya karena sebuah insiden di pabrik tempatnya bekerja. Tak ada santunan apapun, tak ada pertanggung jawaban dari pabrik besar itu. Apakah ini akhir nasib dari seorang buruh pekerja kasar? Tak ada  keluarga lagi yang kami punya, aku tinggal bersama adikku yang baru menginjak usia 3 tahun. Kami hidup hanya dari belas kasihan tetangga sekitar, aku hidup hanya mengais-ngais rejeki menjadi seorang pemulung yang penuh caci dan cercaan teman-teman sebayaku. Tapi aku tak menyesal, dari kerja kerasku mengemis aku dapat melanjutkan sekolahku yang sempat terbengkalai. Kemana janji-janji pemerintah mengenai “Pendidikan Gratis 9 Tahun” ??? kenapa kepada anak negeri yang tak mampu ini aku tak mengenyam janji itu, bahkan daerahku pun seperti tak tersalurkan dana tersebut. Aku selalu mengecam program pemerintah itu, apalagi anak miskin sepertiku yang harus hidup membiayai malaikat kecilku, adik yang harus aku jaga sebagai janjiku kepada orang tuaku. Aku selalu berpikir betapa ketidakadilan menggerus dunia masa kanak-kanakku yang harusnya dilalui dengan keceriaan, tapi aku? Aku hanya berkutat mencari segenggam beras untukku makan, hingga biaya sekolah yang harusku tanggung, sampai harus menitipkan adik perempuanku di rumah tetangga. Tapi aku tidak pernah lupa akan Tuhan, kerasnya dunia mengubahku menjadi pribadi yang tangguh dan berpikir luas. Kemampuanku pun terlihat saat diriku berada di kelas 3 SMP.
“Kar, lho dicariin Pak Budiono tuh!” sekelebat suara tiba-tiba mengagetkanku yang sedang asik membahas tugas Bu Rahmi, Guru Bahasa Indonesia di teras depan kelas.
“Ya ampun, aku lupa Di. Harusnya 30 menit yang lalu aku nemuin beliau, mati aku nih…” keluhku didepan Andi yang sedari tadi bingung menatapku sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Tanpa menghiraukan kebingungannya, aku segera berlari menuju ruang Guru di sebelah kelas 3B. Saat tiba di muka ruangan, kutarik nafas dalam-dalam dan terdengar suara seorang pria dari belakangku berujar “Sini masuk nak Karno, Pak Bodiono sudah nunggu dari tadi didalam” dia adalah Pak Sultan, Guru Matematika kelas 8. Tanpa ragu lagi kujejalkan kakiku masuk ke dalam.
“Selamat Siang nak Karno, silahkan duduk.” Seru Pak Bodiono menyambutku. Dengan perasasaan canggung aku duduk di sofa yang panjang, diikuti Pak Sultan disebelahku yang tersenyum simpul dan terlihat berkarisma.
Dengan nada sopan kutanyakan mengapa diriku dipanggil kesini, untuk mengurangi suasana canggung di ruangan yang atmosfirnya dingin ini. Apalagi daerah tempat ku tinggal memang desa yang berada diujung bukit.
“Begini lo nak Karno, Bapak ingin menyampaikan bahwa kamu lolos seleksi lomba kemarin lusa itu, yang diadakan SMA Bakti Mulya 1. Bahkan kamu meraih juara 1 di bidang Fisika. Dan hari ini kita dipanggil untuk menerima penghargaannya. Bapak tak menyangka sekolah kita yang bisa dibilang kecil ini mampu meraih juara diantara sekolah-sekolah dikota besar itu, tapi sekolah yang berada didesa ini pun mampu menunjukkan taringnya. Bapak ucapkan selamat, nak Karno” seru Bapak Bodiono yang merasa bangga sekaligus senang sambil menjabat tanganku.
Ku balas jabatan tangan dari Bapak Bodiono, berikut juga Bapak Sultan. Perasaan senang berkecamuk dalam bathinku. Aku hanya mampu mengucapkan syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada Bapak/Ibu Guru yang telah membimbingku sejauh ini. Saat itu juga, aku bersama Pak Bodiono, Kepala Sekolah SMP Budi Luhur 3 tempatku menuntut ilmun dan selalu mensupportku selama ini, walaupun sekolah kami kekurangan Guru-Guru yang berkompeten dan sempat sekolah ini tidak mengikuti lomba itu karena biaya pendaftaran lomba yang tak mampu di tanggung sekolah, namun berkat kepercayaan bapak kepala sekolah, beliau rela merogoh kocek sendiri. Maklum saja, sekolah ini bahkan tak mampu membenahi keadaan sekolah yang telah mengalami kerusakan parah.
Sebuah piagam pertamaku yang kuraih, kupajang di kamarku yang tampak lusuh ini, adikku yang kini berusia 4 tahun sedang asyik bermain bersama anak tetangga di sebelah. Kutatap piagam itu dengan penuh harapan, terlintas khayalan dalam benakku ingin menjadi seorang ilmuwan yang dulu hanya sebagai mimpi belaka, tapi kini itu semakin kuat. Namun kadang-kadang impian itu seperti jauh saat aku tersadar akan kenyataan ekonomi yang kurang dan sering kali aku mengalami suatu kebimbangan dalam menentukan cita-cita, pernah aku berpikir untuk menjadi seorang Guru yang merupakan pahlawan pendidikan, atau dokter seperti cita-cita temanku kebanyakan. Namun itu terlalu mustahil, aku hanya ingin mampu membiayai sekolah dan membesarkan adikku dengan keadaan yang lebih baik.
“Selamat ya Kar, aku bangga padamu..” seru Andi yang sedang duduk dikarpet merah yang mengalasi kita yang sedang belajar bersama di ruang pembinaan. Itu membuat segala lamunanku buyar entah kemana.
“Ah, Karno masih belum apa-apa ketimbang Andi yang dari SD sudah meraih banyak piagam dan penghargaan di bidang Matematika, saya ini belum seberapa, baru sekali saja. “ ujarku dengan nada merendah. Memang kami sedang belajar bersama untuk pembinaan di ruang Pembinaan lomba untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan Universitas bergengsi di daerah Kota.
Tiba-tiba rombongan anak – anak kelas  9, menghampiri kami yang duduk di bawah. Dengan yakinnya seorang ketua genk yang terkenal ditakuti karena ulah dan kenakalannya, apalagi dia anak dari juragan kaya di desa ini.
“Sombong bener kalian ini, mentang-mentang dapet juara dalam lomba udah bertingkah, apalagi lho anak miskin, kampungan dan bau lagi, hahahaha” teriaknya sambil menunjuk-nunjukku yang seolah-olah hanya sebuah sampah ini.
“Iya bos, mana pakaiannya lusuh, penuh jaritan. Udah kayak pengemis di pinggir jalan, hahaha” timpal teman satu genk nya yang berdiri di sebelahnya.
“Eh, kamu jangan mentang-mentang anak orang kaya bisa belagu ya!” seketika Andi bangun membelaku yang tak mampu berujar apa-apa. Karena memang kenyataan aku ini anak miskin, pengemis malah. Wajahku hanya tertunduk lesu tanpa mampu membela diri.
“lho cuma menghandalkan kekayaan orang tua lho saja, itu bukan punya lho tau! Dasar otak udang, cuma bisa jadi benalu! Yang terlihat seperti sampah itu genk-genk norak dan nakal seperti kalian, kalian hanya  SAMPAH MASYARAKAT! Kalian sadar???” lanjut Andi kembali membelaku.
“Apa  lho bilang?” tiba- tiba Rudi menarik kerah baju Andi, dan teman-teman mereka yang beranggotakan 4 orang mengerumuni aku. Berkelahian sudah terjadi, aku hanya bisa diam dan menerima setiap pukulan yang diarahkan untukku, walaupun bathinku menolah tapi aku tidak ingin membuat masalah. Syukur saja, kegaduhan di ruang pembinaan ini terdengar dan Bu Rahmi yang mendengarnya segera menuju tempat kejadian, seraya menghentikan Rudi dan genk nya untuk di tindak lanjuti di ruang BK. Kami pun dilarikan ke ruang UKS, apalagi Andi yang sudut bibirnya berdarah dan dan memar di sekitar wajahnya, sedangkan aku hanya pipi dan bagian perut yang terasa sakit karena tinju dari salah satu teman mereka.
“Maafkan aku yang tak mampu membela diri, An. Karena semua yang mereka tuduhkan adalah benar adanya.” Ku buka percakapan di ruangan yang sunyi ini. Sambil terbaring di ranjang UKS yang bersebelahan dengan Andi.
“Aku ndak nyalahin kamu kok Kar. Tapi itu sudah keterlaluan namanya, apa kamu ndak sakit hati sama orang belagu kayak dia, sekecil apapun pembelaan kamu, harusnya kamu bela diri. Biar orang itu ndak nginjek-nginjek teman seperti itu.”
Tampak dari nada suaranya di  masih marah.
“Aku sudah terbiasa di hina seperti itu An, telingaku sempat panas karena itu, tapi itu hanya membuat orang sepertiku dalam masalah besar.” Sanggahku membenarkan apa yang kulakukan.
“Aku kasian padamu Kar, kenapa orang yang berduit selalu menang dan …” belum sempat ia selesai menyampaikan pemikirannya, ia tampak termangu diam. Aku tahu keluarga Andi adalah keluarga berada, apalagi jabatan ayahnya seorang bupati kota ini. Aku tahu apa maksudnya tadi, pasti dia teringat dan mengecam prilaku kakaknya yang masuk Universitas favorit melalui jalur belakang, yang tidak sesuai kemampuan tapi demi rasa gengsi apalagi ayahnya yang orang terpandang. Kini akhirnya juga harus menganggur, padahal dia bergelar S1 sarjana kedokteran. Namun gelar itu hanya dibeli bukan diraih berdasarkan kemampuan. Tapi itu bukan sepenuhnya kesalahan kakaknya, karena paksaan dari ayahnya yang ingin anaknya terlihat hebat di mata masyarakat, bahkan Andi tahu keinginan kakaknya yang ingin menjadi seorang seniman pelukis. Aku yakin Andi hanya ingin merubah cara pandang orang miskin sepertiku agar tidak selalu memandang orang kaya hanya karena uang dan koleganya, tapi kemampuannya dan akhirnya dia tunjukkan prestainya di bidang Matematika dengan menjuarai setiap lomba yang diikutinya. Kita hanya bisa bersama – sama berkata “BERIKAN DAN LAKUKAN YANG TERBAIK.”
Seminggu kemudian, lomba yang kami ikuti berakhir dengan sukses, aku dan Andi berhasil mendapat kursi juara 1 dan langsung diterima jika kuliah disana, tapi kami baru SMP. Dan setelah pengumuman ujian semua murid kelas 9 dinyatkan lulus dan aku ditawari menerima beasiswa penuh dari sebuah SMA, dan Andi juga. Tapi semenjak kelulusan itu aku sudah tidak pernah melihatnya lagi karena dia bersekolah di luar kota, SMA favorit yang bergengsi. Sekolahku pun juga seperti itu, saking bergengsinya aku terlihat lusuh sekolah disini. Semua murid yang bersekolah di sini termasuk kalangan orang berada yang selalu terlihat dari mobil yang mereka kendarai kesekolah.
Cerita SMA ku pun tak jauh dari cercaan. Kalau bukan karena beasiswa aku tak akan kuat bersekolah disini. Tapi tak mengapa karena aku juga sering tak mengikuti suasana belajar dikelas karena harus berkutat dengan berbagai lomba Fisika. Bahkan sampai kelas 3 SMA, yang seharusnya aku fokus akan ujian harus disibukkan dengan lomba-lomba di sana sini yang seharusnya di pegang oleh kelas 2 karena kelas 3 sudah harus melepaskan berbagai kegiatan untuk fokus pada Ujian Nasional maupun Ujian masuk perguruan tinggi, namun aku tak perlu khawatir karena berkat prestasiku ini sudah banyak Universitas terkenal di negeri ini bahkan menerimaku tanpa melakukan tes lagi. Saking sibuknya sampai adikku yang kini berusia 7 tahun dan semestinya harus mengenyam bangku sekolah dasar terbengkalai, dia selalu merengek minta bersekolah seperti teman-temannya. Tapi aku tak bisa mengabulkan keinginannya karena keterbatasan biaya, untuk makan saja susah, aku ini sudah termasuk untung mampu bersekolah karena beasiswa.
Perasaan kagum pada seorang perempuan pun pernah aku rasakan, tapi dia hanya bisa menginaku dan mencaci-maki diriku ini. Sempat dia menerimaku, tapi itu hanya ingin memanfaatkanku, aku tidak sebodoh itu untuk dibohongi, hingga akhirnya terungkap dia hanya menjadikanku sebagai budaknya. Memang benar cinta pertama sangat sulit untuk dilupakan tapi aku hanya menjadikan itu sebuah kenangan saja dalam hidupku karena melupakan sesuatu yang sudah terjadi itu jauh sulit dan menyakitkan. Berkat impianku yang tak pernah padam, aku tersadar bahwa aku hanya ingin merubah hidupku dan membesarkan adikku.
Saat tingkat nasional mengadakan seleksi, aku lulus mengikuti kejuaraan olimpiade setingkat asia tenggara, dan ternyata, di karantina aku bertemu Andi sang maestro matematika. Kami sama – sama berjuang hingga akhirnya sebuah Olimpiade Internasional berhasil kami lewati dan meraih banyak emas untuk negeri tercinta kami Indonesia. Tanpa perlu tes apalagi, berbagai Universitas terkenal dunia menawari kami menerima beasiswa bersekolah disana.
Aku dan Andi pun memilih Universitas yang sama, kami pun berpikir bahwa kami akan mengejar ilmu setinggi-tingginya di negeri orang dan berjanji akan mengaplikasikannya di negeri sendiri, berhari – hari, bermingu-minggu, berbula-bulan dan bertahun- tahun kami menuntut ilmu dinegeri orang. Aku membenarkan lirik sebuah lagu nasional, dimana walaupun banyak negeri di lalui mulai dari yang termasyur dan permai di sebut-sebut oleh orang, tetapi kampung dan rumah tidak kan hilang dari kalbu. Bahkan aku sampai meninggalkan adikku di Bi Desi tetangga sebelah di desaku. Walaupun kadang aku pulang pergi Indonesia-Amerika karena panggilan pemerintah atau hanya sekedar melepas rindu dengan adik dan Bi Desi yang telah kuanggap keluarga.
 Pada upacara kelulusan wisuda aku menerima telepon dari Bi Desi bahwa adikku Dewi yang kini mengenyam pendidikan SMP terkena Hemofilia, kanker darah. Itupun sudah stadium 3. Aku pun tampak terkejut karena selama ini aku jarang memperhatikan adikku karena urusanku yang tak pernah mau mendengar keluhannya. Aku merasa menyesal, dan selama acara aku terus murung dan sedih, apa yang harus aku lakukan? Semua permasalahan berkecamuk di pikiranku, segala rumus – rumus fisika yang aku pelajari bahkan tak mampu menyelesaikan permasalahan ini, hingga tiba-tiba Andi yang duduk disebelahku menyadari kemuramanku.
“Kenapa wajahmu lesu Kar??” tanyanya sambil meraba-raba dahiku seolah-olah mencari demamku.
“Ndak panas kok” timpalnya.
“O.. tak apa-apa An, aku Cuma kangen kampung halaman kita. Sudah lama kita berburu ilmu di negeri orang, aku bahkan membayangkan nasi goreng dan bakso yang di jual Pak Mamat di sebelah sekolah SMP kita.”
“Sepertinya bukan itu yang kaurasakan Kar, kita sudah berteman sejak lama. Jadi aku tahu kalau kau sedang ada masalah” pelan dia berujar. Namun, suara tepuk tangan membuatku tak medengar dengan jelas”
Saat aku permisi ke kamar kecil seorang pria asing memberikan kartu namanya, kami berbincang dengan bahasa inggris, yang telah biasa aku gunakan semenjak pindah ke Amerika ini. Aku bingung apa aku harus meyampaikannya pada Andi???
Saat kami kembali pulang ke Indonesia, penduduk desa menyambut kami dengan mengucapkan selamat karena berhasil menyelesaikan kuliah di luar negeri. Adikku yang berdiri diujung segera memelukku dengan segala rasa rindu pada kakaknya yang selalu sibuk dengan urusannya ini. Aku memang harus melakukan ini, ini demi Dewi….
“Bi, rumah Karno kok sepi” Tanya Andi yang sejak seminggu tidak menerima kabar dari Karno.
“Owh, den Andi… Karno kan sama adiknya harus berobat keluar negeri karena si Dewi kena kanker darah. Tapi sampai sekarang mereka ndak pulang-pulang, mungkin si Karno kerja disana.” Cerita bibi Desi sambil menggendong anaknya yang paling bungsu berusia baru 1 tahun. “Emang aden ndak dikasi tau ya?” timpal bi Desi.
“Ndak Bi, kalo gitu saya permisi ya bi, kalau ada kabar bisa kasih tahu ya bi..”
Tampak jelas sekali wajah Andi kecewa, dia berjalan menjauhi rumah Karno. Janji – janji yang kami ikrarkan dahulu hanya sebuah omong kosong, bualan yang tak ada artinya, seperti seorang kader yang sedang berkampanye dengan segala macam jenis janji-janji palsu atau seorang pria yang menggombal, seperti itulah kini. Kenyataan hidup telah menenggelamkannya.
“Kamu bilang kita sahabat, tapi kenapa kamu ndak cerita masalahmu Kar? Walaupun aku tidak bisa membantu, setidaknya kau cerita… apa kau tak menganggapku ada ah??” bathin Andi menerka-nerka.
“Maafkan aku sobat yang tak bisa menyampaikannya padamu. Aku terpaksa menerima tawaran dari tim penelitian Jepang karena mereka menjanjikan hal yang adikku perlukan. Karena itu, kini adikku sudah sudah sembuh dari sakitnya bahkan telah berkeluarga dan hidup berkecukupan disini, pria Jepang yang menikahinya 40 tahun silam, pria yang ternyata sebelumnya ia berkebangsaan Indonesia, namun karena hal sepertiku dia menerima tawaran pemerintah jepang karena prestasinya. Tapi aku tetap berkebangsaan Indonesia walaupun telah lama tinggal di Jepang, karena kecintaanku pada negeriku itu…”
Obsesi ku untuk merubah hidupku, aku terlalu terpesona akan glamornya kecanggihan tim penelitian di negeri sakura ini, hingga aku tetap membujang seumur hidupku. Tapi keputusan yang aku ambil tidak akan kusesali, buktinya hingga usia ini aku tetap menerima santunan dari pemerintah negeri ini. Namun bukan itu yang aku cari, tapi aku ingin melihat kebahagiaan pada adikku.
“Kakek, kenapa kakek tak mencoba mencari teman kakek itu dan meminta maaf?” Tanya seorang gadis kecil yang baru menginjak usia 6 tahun. Yang mana adalah anak dari keponakanku yang pertama. Kini adikku sudah menjadi nenek, tapi dia masih terlalu muda untuk menjadi nenek. Anaknya yang kedua sekaligus terakhir sudah menjadi bibi bagi cucunya.
“Kakek… ingin melakukannya nak.. hahem…huks huks…
Tapi kakek tak punya keberanian melakukannya. Kakek terlalu pengecut.”
“Kata ibu, jika kita melakukan kesalahan, kita harus meminta maaf sekalipun permintaan maaf kita tidak diterima, setidaknya kita telah melakukannya.” Ujar Sakura, namanya. Anak kecil dengan berkata tulus seperti itu siapa yang tidak tersentuh.
“Hush… tau apa kamu anak kecil masa menasehati kakek yang sudah perpengalaman dalam hidup dan pasti tau apa yang harus kakek lakukan.” Gerutu kakaknya yang sedari tadi mengerjakan tugas disebelahnya.
“Tidak apa-apa, kakek senang kalian selalu memperhatikan kakek. Kakek bersyukur kalian telah mengingatkan kakek, mengenai apa yang harus kakek lakukan, kadang kala orang dewasa perlu diingatkan karena belum tentu orang dewasa bisa bersikap yang benar seperti kalian, kakek jadi malu karena sudah berusia 78 tahun masih perlu diajarin oleh cucu-cucu kakek yang manis-manis ini. Kemari sakura,” tutupku sambil bercanda dengan anak muda seperti cucu-cucuku ini yang berpikiran luas ini.
Pada hari libur suami adikku mengajak kami sekeluarga pergi ke rumah keluarganya di Indonesia. Saat itulah kusempatkan diri mampir di rumah tempatku dulu tinggal yang tak jauh, masih sama dalam satu kota.
Ku langkahkan kakiku yang tua renta ini dengan menopang diri pada sebuat tongkat kayu. Samar-samar dari kejauhan ku lihat seorang anak muda sedang memasang bendera di depan pagar rumahku dulu, sepertinya sekarang sudah dihuni orang lain.
Saat ingin berbalik kembali ke mobil, sakura menggandeng tanganku dari belakang. Tubuh kakeknya yang tua renta ini hanya bisa mengikutinya yang semakin mendekat pada rumah itu, kini rumah itu terlihat lebih indah dan asri. “sakura” panggil seorang anak perempuan sebaya sakura dari depan pintu rumahnya.
“Tampaknya, kita sudah disambut Kek.” Ujar sakura pelan, namun pendengaranku yang sudah tak tajam ini hanya mendengar samar-samar, belum sempat aku menyuruhnya kembali bicara, tiba-tiba adikku sudah berdiri di dalam rumah itu. Rasa bingung dan penasaran membuatku bertanya-tanya. Tak seorang pun menjawab, mereka hanya menuntunku  menuju sebuah kamar yang disana terbaring seorang pria tua renta sepertiku.
“Sudah serasa setengah abad kita tak berjumpa sobat” mulainya segera aku tepat berdiri di ujung kasur tempatnya terbaring.
“Maksud anda?” tanyaku dengan nada ragu-ragu, aku takut pendengaranku terganggu atau dia tidak sedang berbicara padaku.
Namun sorot matanya mengingatkanku pada seseorang, saat ku cerna kembali kata-kata itu aku teringat akan sahabatku yang telah sekian lama tak berjumpa. Belum sempat aku menebak dia lalu berkata “BERIKAN DAN LAKUKAN YANG TERBAIK SOBATKU”
Kini aku sadar itu Andi sahabatku, waktu memang telah merubah fisiknya yang dahulu dia terlihat tampan dan gagah kini terbaring tak berdaya. Ternyata dia masih ingat denganku., sahabat yang telah berdusta kepadanya, sahabat yang tak layak jika menyebutku seorang sahabat.
“Tak usah bangun, tampaknya kau kurang sehat…” ucapku ketika melihatnya berusaha meninggikan bantal di kepalanya. Namun wanita disebelahnya membantunya, dia mirip dengan seorang wanita yang pernah aku kenal bahkan pernah mendapat tempat special di hatiku, namun keadaan tua ini membuatku tak mengingatnya. Apa karena rasa sakit aku tak mampu mengingatnya kembali, entahlah.
“Maafkan aku atas semua kebohonganku dan …” belum sempat aku melanjutkannya, dia memotongnya.
“Tak usah meminta maaf, tampaknya kau selalu dihantui perasaan bersalah. Seharusnya aku sebagai sahabat tahu mengenai masalahmu. Kini semua telah berlalu, kita sudah sama-sama beranjak tua, telah memiliki cucu. Buat apa kau meminta maaf, aku sudah memaafkanmu sejak lama.
“Aku dengar kau, bekerja menjadi dosen di salah satu Universitas? Tapi mengapa orang sepertimu yang telah berjasa mengharumkan nama bangsa ini di dunia, hanya menjadi dosen? Hah? Dan kini harus berakhir seperti ini? Saat pertama kita berhasil meraih medali emas, semua pemberitaan mengekspos kita dan menanyangkan kita di berbagai media. Tapi tak beberapa lama berselang kita seperti tenggelam, tak ada lagi yang menghargai kita. Tapi saat itu kita dengan lugu berpikir bahwa itu hadiah untuk hari Kemerdekaan Negeri kita. Tapi sekarang kau terlihat sangat menyedihkan sobat… Lihatlah diriku yang sejahtera hingga tua seperti ini, di Negara itu Sumber Daya Manusia seperti kita diperlakukan secara baik. Kehidupan terjamin. Tapi hanya satu yang kurang, aku merasa sepi disana, kesepian. Tidak seperti warga kita yang ramah, seperti yang pernah aku akui mengenai lirik lagu itu, sampai kini aku masih mengingat setiap lirik, setiap nada dari lagu-lagu nasional itu, yang bahkan anak – anak muda belum tentu hafal, hanya disuruh menyebutkan dasar Negara saja mereka harus mencari buku. Seharusnya mereka memberiku tanda penghargaan, sebesar usaha kita dahulu.
“Aku sangat menghargai keputusanmu sobat. Karena waktu itu kau membutuhkan biaya untuk adikmu, dan merekalah yang mampu memberikannya walaupun dengan syarat tertentu. Tapi aku tidak pernah menyesali keputusanku, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk negaraku tanpa menjadi seorang yang hanya meminta pada negaranya. “PERTANYAKAN APA YANG T’LAH KAU BERIKAN PADA NEGARAMU, BUKAN APA YANG NEGARA BERIKAN KEPADAMU”
SELAMAT HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN RI SAHABAT.
“Kakek, selamat 17 Agustus kek, “ ujar Sakura yang membawakanku sebuah bendera kecil. Kini aku akan menghabiskan sisa hidupku dinegaraku, aku ingin memberikan apa yang bisa aku berikan kepada negaraku”  Adikku membuka sebuat tempat pengajaran di desa secara gratis walaupun hanya tempat kecil. Aku membina pengajar-pengajar yang berdedikasi untuk mengajar. Menantu adikku secara bertahap membangun sebuah sekolah TK didesa. Mungkin hanya itulah yang bisa aku berikan.
Temanku Andi telah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini, pahlawan pendidikan. Kau selalu berdedikasi selama hidupmu, entah seberapa banyak yang tidak aku ketahui. Semoga generasi berikutnya mampu menjadi yang terbaik. Aku bangga menjadi warga Negara INDONESIA. Kini aku merasa damai untuk meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang damai dan tenang. BERIKAN DAN LAKUKAN YANG TERBAIK.
ADE EMELAN TANTRI MELANI

SMA NEGERI 1 GIANYAR

Categories: Cerpen, KREASI | 2 Comments

Sumpah Pemuda


Bayang hati menyibak sukma

Suara hati mengalun merdu

Kelam dan sunyi kisah dahulu

Menyayat hati menggugah kalbu

Dia di sana ditemani temaran surya senja

Berpeluh memancarkan lelah

Namun wajahnya menyiratkan kekuatan

Tak hanya dia, tetapi dia-dia yang lain

Bergabung menyatukan jiwa dan raga

Dalam kesatuan semesta

Senja pun berganti malam

Di hari yang bersejarah itu

Mereka tetap di sana bersama

Tuk menggapai mimpi dan cita

Teriak membahana menyorakan janji

Janji suci janji surgawi

Meniadakan perpecahan nurani

Tuk membentuk sebuah wadah

Lagu kesatuan pun dikumandangkan

Sebagai bukti bangkitnya sebuah persatuan

Tuk membentengi para penjajah negeri

Menghapus darah mengalir tak henti-henti

Mereka bersatu, mereka maju, mereka berseru

Menuju yang satu itu………..

Dengan semangat nasionalisme dan antikolonialisme

Terlepas dari kekang dan belenggu

Hanya itu yang mereka mau

Dalam satu janji yang bersemi

Menciptakan keribaan dalam hati

Merdeka untukmu Indonesia sejati

Segenap perjuangan mengaharukan

Membangkitkan semangat diri

Membela dan berjuang melawan

Kenestapaan yang melanda

Wahai putra-putri tunas bangsa Indonesia

Para generasi muda yang tanggap nan tangguh

Mari bersama-sama…..

Kita lanjutkan cita dan mimpi

Para pemuda pahlawan kami

Membangun negeri

Dengan kesungguhan hati dan nurani

Karya :

Ni Luh Wisma Eka YAnti

Categories: KREASI, Puisi | Leave a comment

MELODI KHAYALAN


Karya: Wisma Ekayanti (SMA Negeri 1 Gianyar)

Desir angin pantai menembus lautan sepi

Mengikis rasa di hati, menyentuh hati nurani
Dinginnya angin malam
Membuat suasana kian kelam
Terasa gelap dan hitam
Kehidupan yang begitu suram
Seruling bambu terkoyak palsu
Namun tetap menggema merdu
Melantunkan lirik dalam hati dengan syahdu
Seolah-olah membuatnya malu
Tak biasa aku merana
Penderitaan sepanjang masa
Aku tak tahu sedang apa dan dimana?
Kebahgiaan jauh dari depan mata
Sepertinya hanya mimpi belaka
Aku tak ingin gundah
Tak ingin resah dan gelisah
Hanya kebahagiaan sebuah
Untuk merangkai hidup yang indah
Categories: KREASI, Puisi | 1 Comment

PAHLAWANKU HEBAT PAHLAWANKU MALANG


Bayangan bangunan pencakar langit meneduhkan rumahku yang kecil ini diantara bangunan – bangunan kota metropolitan yang berdiri megah menghalangi matahari terbit di timur. Pemandangan pagi hari yang selalu berpolusi tanpa pernah ada kesempatan buatku menghirup udara pagi yang segar seperti sering didengung-dengungkan warga perkotaan yang cinta lingkungan. Tapi itu semua tidak terealisasikan jika hanya segelintir warga saja yang melaksanakan yang namanya go green sampai save energy. Ku kayuh sepedaku menyusuri jalan kecil yang keadaannya rusak parah dan tak terurus, tak kuduga sepedaku menghantam kuat batu besar di pinggir lubang yang hendak kulewati. Tubuhku terhempas tak jauh dari sepeda, aku hanya bisa merintih kesakitan tanpa ada yang menolongku di jalan yang sepi ini. Luka lecet menganggu persendiaan tanganku oleh perihnya.

“Rud… Rudi… kamu kenapa?” terdengar suara memanggil namaku dari arah belakang saat ku berdirikan sepedaku dengan tangan kiriku yang tak  terluka.

“Anto, aku kira siapa.”

Di tuntunnya sepedaku ke rumahnya yang tak jauh dari tempatku terjatuh, ini tak terlhat seperti rumah tetapi lebih seperti  sebuah gubuk di tengah pematang sawah. Pandanganku berhenti saat perih lukaku mulai mengeluarkan lebih banyak darah. “Awh…” seruku pelan, saat Anto membersihkan lukaku dengan kapas. Suasana tampak kaku, apalagi aku anak baru di satu sekolahan dengan Anto yang 2 hari lalu pindah. Kami saling berdiam diri dan aku hanya memperhatikan apa yang dia lakukan pada tanganku sampai mengakhiri dengan memberi handsaplash pada lukaku. Tak disengaja pandangan kami bertemu dan untuk mengurangi kecanggunganku, ku buka percakapan kami dengan pertanyaan yang biasa di katakana seorang teman saat melihat temannya belum mengenakan seragam sekolah padahal jam sudah menunjukkan waktu untuk berangkat sekolah. Anto hanya menyatakan bahwa ia harus melakukan sesuatu sebelum berangkat sekolah.

Saat kami putuskan untuk sekolah walaupun sepertinya akan terlambat sekali, aku menunggu Anto yang sedang mengganti seragam di luar, hmm… seperti ruang tamulah istilahnya walaupun ini hanya tempat untuk duduk-duduk yang tak terlalu luas untuk berbanyak.

Karena aku bukan orang yang suka menunggu, kuputuskan untuk sekedar berdiri sambil berjalan melihat-lihat, seperti photo misalnya. Tampak sebuah photo menarik perhatianku seorang pria dengan segudang piala dan banyak medali melingkar di lehernya. Pria itu besar, tegap dan seperti seorang olahragawan dengan otot lengannya yang besar. Saat ingin aku memegangnya, suara Anto mengajak berangkat mengagetkanku. “Ayooo…” jawabku dengan singkat, sebelum pertanyaan muncul di benakku sepanjang perjalanan siapa orang di photo itu yang terlihat begitu bahagia.

Kami memang terlambat nyatanya sampai di sekolah sampai guru menasehati dan memarahi kami. Namun itu tidak sebanding jika pelajaran yang terlewatkan, jika tidak sekolah. Saat pelajaran Bahasa Indonesia oleh Ibu Setiawati berlangsung dengan tema Harapan, Impian dan Cita-cita kami mengikuti dengan serius, apalagi itu membahas mengenai Proklamasi yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia di jaman penjajahan dahulu. Saat ibu guru bertanya padaku apa cita-citaku, aku dengan lantang menjawab “Dokter” seperti kebanyakan anak-anak lain seusiaku. Tiba-tiba semua murid terdiam tanpa sibuk memikirkan apa cita-cita mereka yang baru menginjak kelas 4 SD. Anto dengan tegas dan jelas mengatakan dia ingin menjadi seorang Pahlawan seperti ayahnya.

“An,,, tadi kenapa kamu bilang cita-citamu pengen jadi pahlawan? Mana mungkin? Kita kan hidup dijaman merdeka tak seperti jaman penjajahan dulu…” seruku santai saat kami menuntun sepeda kami yang terparkir di halaman belakang sekolah. Suara besi sepedanya yang telah tua berderit ketika di jalankan.

“Ya tidaklah Rud, saya tahu kok ini bukan jaman penjajahan. Tapi kita bisa menjadi pahlawan dengan mengharumkan nama Negara ini di kancah Dunia.” Ujarnya masih tetap menuntun sepedanya. Aku yang mengendarai sepeda berada di depannya dengan mengayuh pelan-pelan.

“O… itu saya mengerti, trus kenapa seperti ayahmu?”

“Kamu tau kan petinju yang terkenal karena prestasinya hingga Internasional di tahun 80’an ?”

“Hmm… tidak sih, kan aku belum lahir saat itu“ jawabanku membuatnya tertawa walau hanya sekilas.

“Itulah ayahku” sambil menunjuk seorang pria yang sedang mengangkat karung beras di tengah sawah samping jalan yang kami lewati sebelum akhirnya kami terpisah oleh jalan yang bercabang menuju jalan rumah masing-masing. Anto tersenyum kearahku dan melambaikan tangannya, aku pun membalas lambaikan tangan.

Aku masih tidak mengerti sampai tiba dirumah ayah sedang membaca surat kabar menyambutku dengan ucapan selamat datang. “Ayah sedang membaca apa?” tanyaku iseng agar suasana cair.

“Biasa berita korupsi, kejahatan dan terakhir ayah baca mengenai rumah veteran yang akan digusur karena tanah yang ia tempati milik pemerintah” ujar ayahku yang kental logat Bataknya.

“Ayah, apa itu veteran?”

“Veteran itu pahlawan, tapi mereka masih hidup hingga saat ini. Yang usianya kebanyakan tua.”

“Jika kita mengharumkan nama bangsa apa bisa disebut pahlawan?”

“Bisa, itu pahlawan pembangunan di era globalisasi saat ini. Kenapa kamu Rudi? Tumben banyak Tanya nih, begitu harusnya jadi generasi muda yang kritis dan peduli perkembanan negeri ini, jangan acuh tak acuh, kasihan pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan negeri ini.”

“Iya ayah J” bergegas ku mengganti pakaian ke kamar, terbayang perkataan ayah tadi dan berita veteran yang digusur membuatku sedih kepada kebijakan pemerintah yang tak patut untuk seorang pahlawan yang bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk negeri ini. Dan untuk ayah Anto yang seorang olahragawan yang sudah mengharumkan nama bangsa ini sampai kancah Internasional dan memegang predikat juara kini hidup susah membiayai keluarganya, bahkan rumahnya pun tidak bisa dibilang sebuah rumah. Apakah tidak ada penghargaan dari pemerintah mengenai masalah seperti begini? Kemana tugas mereka yang mensejahterakan rakyat? Aku hanya mampu berkonflk dalam hati tanpa bisa menyampaikannya pada pemerintah, apa sih artinya seorang anak kecil seperti aku? Aku hanya kasian pada temanku Anto yang selalu bangga dengan ayahnya yang seorang petinju hebat kini menjadi kuli tua yang membopong banyak kardus dan karung di lengannya yang dulu berharga. Ya Tuhan, semoga Anto tidak bernasib sama seperti itu. Siapa yang akan peduli seorang pria tua berpakaian lusuh ? siapa peduli bahwa mereka itu pahlawan? Bahkan aku tak tahu seorang yang telah berharga mengharumkan nama negeri ini, orang dewasa hanya mampu menasehati “kau harus sukses” tanpa pernah menceritakan sejarah seperti jaman dulu dimana para orang tua berdongeng kepada anak-anaknya menjelang tidur, aku hanya mendengar sejarah dari pelajaran disekolah! Bagaimana dengan mereka yang tidak sekolah? Membaca pun tentu tak bisa apalagi belajar sejarah .Mungkinkah sebuah tinta emas tersisa untuk mengukir nama Ayahnya sebagai seorang pahlawan ?  sebagai bangsa yang besar dan tau berterimakasih seharusnya kita mampu menghargai jasa-jasa mereka…

 

 

Ade Emelan Tantri Melani
SMA Negeri 1 Gianyar

 

Categories: Cerpen, KREASI | Leave a comment

Anak Laut


Riang harimu anak pesisir …

Bersiul menyambut nyanyian ombak

yang gemuruh tanpa henti

melahap rumah-rumah kecil, tanpa hati

Indah harimu anak pesisir…

bermandi pasir putih hangat

Berhias pelangi menyentuh kerang

memintal rumput laut hitam, berlumur bisa

Penuh rasa syukurmu anak pesisir

rela  melepas biduk bersayap

berlayar di gelap malam

pulang dalam  serpih, dicabik badai

Ikhlas kau berkata..

Bahwa gelombang yang di ambil bulan mati,

pasti akan kembali bersama sang purnama

By : Arya Bayu

Categories: Puisi | 3 Comments