Tak ada yang special dariku yang hari ini genap berusia 17 tahun. Tiada perayaan yang meriah maupun sederhana. Bahkan hari ini terlihat sama saja dengan hari-hari biasanya, hanya aku dan Tuhan sepertinya yang tahu. Kulangkahkan kaki menuju garasi untuk memanaskan motor yang akan kukendarai ke sekolah. Berbekal uang 10 ribu tanpa sarapan terlebih dahulu karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.05, hanya 15 menit lagi sebelum aku terlambat ke sekolah yang jaraknya 4 kilometer dari rumahku. Kecepatan ekstra membuaat bulu kuduku merinding, karena biasanya aku sangat pelan seperti siput dalam hal mengendarai motor, apalagi traumaku yang pernah jatuh mengendarai motor. Aish, saking apesnya aku sudah ditunggui guru rupanya di depan gerbang, perasaan deg-degan ketika berjalan ke arah gerbang setelah memarkir motor di parkiran luar sekolah. Aku hanya mencoba berjalan cepat dan tertunduk malu. “Kenapa baru dating kamu nak?” tanya Pak Guru yang berkumis itu, yang aku ketahui namanya Pak Rudi, guru yang mengajar di kelas 3, bukan kelas 2 sepertiku. “Maaf Pak, tadi saya mengantar adik dulu yang arahnya berlawanan” alasanku yang tak masuk akal keluar begitu saja. Mana aku punya adik, adik sepupu baru ada, pikirku. “Lain kali kamu harus lebih pagi, biar tidak terlambat, sekarang cepat ke kelas. Bel sudah dari 5 menit yang lalu berbunyi.” Ujar Pak Rudi dengan wajah masam, sepertinya ia berniat untuk memarahiku yang terlambat, namun alasanku yang indah membuatnya tercengang. Akupun menjawab dengan lantang “Iya, Pak. Terimakasih. Saya tidak akan terlambat lagi…” dan berlari sekencang mungkin, hmm, maksudku berjalan cepat. Keesokan harinya pun aku terlambat lagi, memang sedang nasib baik. Akupun mengendap-endap seperti maling yang takut ketahuan, ketika kulihat Pak Rudi sedang memarahi 2 orang siswa yang salah satunya Andien, namun untungnya aku berjalan di belakang Pak Rudi, jadi ketika beliau menoleh ke belakang, hanya ada angin bertiup karena aku telah lari seribu langkah. “Ih, lho curang Ka! Giliran guw selalu aja apes…” rengek Andien padaku ketika jam istirahat. “Lo? Kok nyalahin guw sih Ndien, Salahin tuh Bapak Gurunya yang- hmm,,, huk huk uhuk…” kalimatku terputus sampai disana, dan memberikan sinyal pada Andien untuk tak berbicara. Karena beberapa guru sedang melewati tempat kami duduk berbincang-bincang. “Siang Pak…” sapa aku dan Andien bersamaan. Kemudian kami saling berpandangan dan tertawa ketika guru-guru tersebut lewat. Ketika saat bel pulang sekolah, aku dan Andien bukannya pulang kerumah, kami harus kerja kelompok untuk membuat tugas kimia di rumah Karin yang lumayan jauh dan kami tak tahu tepat rumahnya, karena itu kami langsung kesana. Berjam-jam kami mengorak-orekkan jawabannya, namun masih ragu hingga Bela dan Nita datang membawa photo copy jawaban Nicky di jenius kimia, ngga jenius amat sih sampe ngalahin Albert Einstein gitu. Setidaknya dia sumber jawaban kami di kelas. Sambil menulis jawaban di double polio, kamipun berbincang-bincang membicarakan sesuatu yang temanya ngga jelas nyambung kemana saking konsentrasinya ke tugas. “Oya, 2 hari lagi hari Ibu, kamu udah nyiapin hadiah, Bel?” tanya Andien memulai tema baru. “Wah, iya! Hampir lupa guw…” timpal Karin. “Aku sih lagi ngumpulin uang nih. Belum kepikiran mau ngasi apa…” jawab Bela beberapa menit kemudian setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya di Landasan Teori. “Ngasi apa bagusan ya,menurut kalian apa” tanya Andien kembali kepada kita semua. “Baju? Sepatu? Buku?” sahut Nita. “Ah, lho kira Ibu guw pelajar. Kalo mnurut lho, Ka?” tanya Andien kepadaku yang sedari tadi asyik menulis dan hanya menjadi pendengar setia. “Hmm… sesuatu yang diinginkannya gitu.” Jawabku dengan sedikit lola (loading lama). “Ish, apa ya? Ah, guw tanya nanti sampai rumah aja deh. Dan akhirnya, bukan akhir karena menyelesaikan tugas, lebih ke akhir ingin pulang kerumah karena sudah sore menjelang malam, terpaksa dan memang udah capek banget nulis, kamipun memphoto copy copyan tersebut dan ada yang memphoto dengan kamera hp. “Kami pulang ya Rin, pulang Tante.” Ujar kami berbarengan pada Nita dan juga Ibunya yang duduk di teras bersama tetangga berbincang-bincang. Karena jalan yang masih asing, aku mengikuti Andien yang arah rumahnya sama denganku dari belakang, tapi hanya sampai di baypass. Selebihnya aku sendirian, dan juga aku telah terbiasa ke rumah Andien sehingga hafal deh jalannya di luar kepala. Selama perjalanan aku kepikiran teman-temanku yang sibuk memikirkan hadiah saat hari Ibu. Bagaimana denganku? aku bahkan tak pernah mendengar dan bertemu ibuku setelah 4 tahun lalu, ketika ia memutuskan meninggalkan keluarga ke tempat asalnya di luar pulau ini tanpa mengucapkan salam perpisahan. Ketika itu usiaku hanya 13 tahun, tanpa pernah menyampaikan apa perasaanku, kecewa, sedih maupun senang kepadamu. Tak pernah sekalipun. Aku hanya seorang remaja yang tumbuh tanpa perasaan bersosialisasi yang baik. Di masyarakat pun aku di kenal pendiam, memang semenjak SMP aku menjadi pribadi yang pendiam, jarang tersenyum dan bahkan hanya tahu yang namanya belajar. Tapi semenjak SMA aku sudah mulai sedikit berubah dengan terlihat ceria dan tabah. Rasanya seperti masa SMA dan SMP ku terbalik, aku lebih bermain-main saat SMA ini, bahkan aku kadang kangen masa SMP, dimana aku jadi salah satu siswa berprestasi dan pintar, tapi ketika SMA… semua lenyap dariku. Aku tak mengerti, ketika aku telah mencoba membuka diri dan bersikap ceria, malahan aku tak sebersinar dulu. Aku hanya seorang remaja putri biasa tanpa prestasi yang membanggakan. Bagaimana aku akan bisa mencari PT (Perguruan Tinggi) yang aku inginkan kalau begini. Aku telah mencoba berbagai kata-kata motivasi untuk memotivasi diri, namun hasilnya nihil. Aku takut akan mengecewakan, terutama ayahku yang telah bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan kakak-kakakku. Aku berpikir lebih baik aku muram dan suram namun rajin dan pintar ketika SMP daripada terbuka dan ceria tapi bodoh, pikirku. “Mika,” panggil ayahnya dengan suara paraunya. “Iya, yah. Tunggu dulu. Mika masih nyapu.” Cepat-cepat ku bereskan sampah yang berserakan dan menuju ke tempat ayah duduk di ruang tamu. “Ibumu tadi menelepon ayah, cepatlah kamu ngomong sana.” Deg, mendengar kata “IBU” hatiku bergetar keras. Sudah sekian lama aku tak pernah mengucapkan kata itu, bahkan terdengar asing di telingaku. Karena tak siap aku pun berdalih biar kakak saja yang berbicara di telepon, aku ingin mandi, tegasku. Bukannya mandi, aku malah berdiam diri di kamar mandi dan memikirkan ibuku, terbersitlah saat-saat setiap kali teman-teman membicarakan ibu mereka, aku hanya bisa diam dan menjadi pendengar yang baik. Setiap orang-orang menanyakan ibuku, hatiku seperti sakit karena terbakar, mereka mengatainya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab pada anaknya, dan semua keluarga menyalahkannya. Yah, memang benar mereka, namun aku tak habis piker kenapa ayah memaafkannya dengan mudah. Aku bukannya mau bersikap durhaka, namun setidaknya ia mendapat perlakuan yang membuatnya sadar akan kesalahannya. Apalagi ketika dahulu… kembali terkenang masa-masa ketika aku terbangun di malam hari karena suara berisik pertengkaran ayah dan ibu, yang saaat itu aku hanya bisa menangis sembunyi-sembunyi tanpa bisa membela dan membantu. Dan semua kenangan-kenangan ketika aku dan kakak dimarahi karena kesalahan kecil, ibu kami memang memiliki temperamen yang tinggi, namun itu sungguh kenangan yang menyakitkan, juga masa-masa sulit keluarga kami ketika ayah harus beristirahat karena sebuah kecelakaan. Tanpa terasa air mata menetes begitu banyak, berpadu dengan air di dalam bak. Semua kenangan itu membuatku pusing. Aku berharap ia akan sadar dengan kesalahannya, walaupun dia kembali, namun ia harus melewati berbagai cibiran dari keluarga ayah maupun tetangga dan itu membuatku kasihan. Agama mengajarkan untuk kita tak durhaka pada orang tua, apalagi ibu karena surge ada di telapak kakinya. Antara senang, rindu, kecewa, sakit berpadu di hatiku dan otakku tak mampu tenang. Aku bahkan harus berbicara dengannya di telepon sekembalinya aku dari mandi. Dan untuk pertama kalinya lagi aku mengucapkan kata “IBU” kata yang sempat hilang, bukan kata “Menyerah atau Impossiblle” melainkan kata IBU, IBU, IBU, IBU…. Kata yang telah asing di telingaku untuk kuucapkan,,,
Cerpen
Sebuah Kata yang Hilang
KETIKA RASA NASIONALISME DI PERTANYAKAN
SMA NEGERI 1 GIANYAR
PAHLAWANKU HEBAT PAHLAWANKU MALANG
Bayangan bangunan pencakar langit meneduhkan rumahku yang kecil ini diantara bangunan – bangunan kota metropolitan yang berdiri megah menghalangi matahari terbit di timur. Pemandangan pagi hari yang selalu berpolusi tanpa pernah ada kesempatan buatku menghirup udara pagi yang segar seperti sering didengung-dengungkan warga perkotaan yang cinta lingkungan. Tapi itu semua tidak terealisasikan jika hanya segelintir warga saja yang melaksanakan yang namanya go green sampai save energy. Ku kayuh sepedaku menyusuri jalan kecil yang keadaannya rusak parah dan tak terurus, tak kuduga sepedaku menghantam kuat batu besar di pinggir lubang yang hendak kulewati. Tubuhku terhempas tak jauh dari sepeda, aku hanya bisa merintih kesakitan tanpa ada yang menolongku di jalan yang sepi ini. Luka lecet menganggu persendiaan tanganku oleh perihnya.
“Rud… Rudi… kamu kenapa?” terdengar suara memanggil namaku dari arah belakang saat ku berdirikan sepedaku dengan tangan kiriku yang tak terluka.
“Anto, aku kira siapa.”
Di tuntunnya sepedaku ke rumahnya yang tak jauh dari tempatku terjatuh, ini tak terlhat seperti rumah tetapi lebih seperti sebuah gubuk di tengah pematang sawah. Pandanganku berhenti saat perih lukaku mulai mengeluarkan lebih banyak darah. “Awh…” seruku pelan, saat Anto membersihkan lukaku dengan kapas. Suasana tampak kaku, apalagi aku anak baru di satu sekolahan dengan Anto yang 2 hari lalu pindah. Kami saling berdiam diri dan aku hanya memperhatikan apa yang dia lakukan pada tanganku sampai mengakhiri dengan memberi handsaplash pada lukaku. Tak disengaja pandangan kami bertemu dan untuk mengurangi kecanggunganku, ku buka percakapan kami dengan pertanyaan yang biasa di katakana seorang teman saat melihat temannya belum mengenakan seragam sekolah padahal jam sudah menunjukkan waktu untuk berangkat sekolah. Anto hanya menyatakan bahwa ia harus melakukan sesuatu sebelum berangkat sekolah.
Saat kami putuskan untuk sekolah walaupun sepertinya akan terlambat sekali, aku menunggu Anto yang sedang mengganti seragam di luar, hmm… seperti ruang tamulah istilahnya walaupun ini hanya tempat untuk duduk-duduk yang tak terlalu luas untuk berbanyak.
Karena aku bukan orang yang suka menunggu, kuputuskan untuk sekedar berdiri sambil berjalan melihat-lihat, seperti photo misalnya. Tampak sebuah photo menarik perhatianku seorang pria dengan segudang piala dan banyak medali melingkar di lehernya. Pria itu besar, tegap dan seperti seorang olahragawan dengan otot lengannya yang besar. Saat ingin aku memegangnya, suara Anto mengajak berangkat mengagetkanku. “Ayooo…” jawabku dengan singkat, sebelum pertanyaan muncul di benakku sepanjang perjalanan siapa orang di photo itu yang terlihat begitu bahagia.
Kami memang terlambat nyatanya sampai di sekolah sampai guru menasehati dan memarahi kami. Namun itu tidak sebanding jika pelajaran yang terlewatkan, jika tidak sekolah. Saat pelajaran Bahasa Indonesia oleh Ibu Setiawati berlangsung dengan tema Harapan, Impian dan Cita-cita kami mengikuti dengan serius, apalagi itu membahas mengenai Proklamasi yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia di jaman penjajahan dahulu. Saat ibu guru bertanya padaku apa cita-citaku, aku dengan lantang menjawab “Dokter” seperti kebanyakan anak-anak lain seusiaku. Tiba-tiba semua murid terdiam tanpa sibuk memikirkan apa cita-cita mereka yang baru menginjak kelas 4 SD. Anto dengan tegas dan jelas mengatakan dia ingin menjadi seorang Pahlawan seperti ayahnya.
“An,,, tadi kenapa kamu bilang cita-citamu pengen jadi pahlawan? Mana mungkin? Kita kan hidup dijaman merdeka tak seperti jaman penjajahan dulu…” seruku santai saat kami menuntun sepeda kami yang terparkir di halaman belakang sekolah. Suara besi sepedanya yang telah tua berderit ketika di jalankan.
“Ya tidaklah Rud, saya tahu kok ini bukan jaman penjajahan. Tapi kita bisa menjadi pahlawan dengan mengharumkan nama Negara ini di kancah Dunia.” Ujarnya masih tetap menuntun sepedanya. Aku yang mengendarai sepeda berada di depannya dengan mengayuh pelan-pelan.
“O… itu saya mengerti, trus kenapa seperti ayahmu?”
“Kamu tau kan petinju yang terkenal karena prestasinya hingga Internasional di tahun 80’an ?”
“Hmm… tidak sih, kan aku belum lahir saat itu“ jawabanku membuatnya tertawa walau hanya sekilas.
“Itulah ayahku” sambil menunjuk seorang pria yang sedang mengangkat karung beras di tengah sawah samping jalan yang kami lewati sebelum akhirnya kami terpisah oleh jalan yang bercabang menuju jalan rumah masing-masing. Anto tersenyum kearahku dan melambaikan tangannya, aku pun membalas lambaikan tangan.
Aku masih tidak mengerti sampai tiba dirumah ayah sedang membaca surat kabar menyambutku dengan ucapan selamat datang. “Ayah sedang membaca apa?” tanyaku iseng agar suasana cair.
“Biasa berita korupsi, kejahatan dan terakhir ayah baca mengenai rumah veteran yang akan digusur karena tanah yang ia tempati milik pemerintah” ujar ayahku yang kental logat Bataknya.
“Ayah, apa itu veteran?”
“Veteran itu pahlawan, tapi mereka masih hidup hingga saat ini. Yang usianya kebanyakan tua.”
“Jika kita mengharumkan nama bangsa apa bisa disebut pahlawan?”
“Bisa, itu pahlawan pembangunan di era globalisasi saat ini. Kenapa kamu Rudi? Tumben banyak Tanya nih, begitu harusnya jadi generasi muda yang kritis dan peduli perkembanan negeri ini, jangan acuh tak acuh, kasihan pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan negeri ini.”
“Iya ayah J” bergegas ku mengganti pakaian ke kamar, terbayang perkataan ayah tadi dan berita veteran yang digusur membuatku sedih kepada kebijakan pemerintah yang tak patut untuk seorang pahlawan yang bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk negeri ini. Dan untuk ayah Anto yang seorang olahragawan yang sudah mengharumkan nama bangsa ini sampai kancah Internasional dan memegang predikat juara kini hidup susah membiayai keluarganya, bahkan rumahnya pun tidak bisa dibilang sebuah rumah. Apakah tidak ada penghargaan dari pemerintah mengenai masalah seperti begini? Kemana tugas mereka yang mensejahterakan rakyat? Aku hanya mampu berkonflk dalam hati tanpa bisa menyampaikannya pada pemerintah, apa sih artinya seorang anak kecil seperti aku? Aku hanya kasian pada temanku Anto yang selalu bangga dengan ayahnya yang seorang petinju hebat kini menjadi kuli tua yang membopong banyak kardus dan karung di lengannya yang dulu berharga. Ya Tuhan, semoga Anto tidak bernasib sama seperti itu. Siapa yang akan peduli seorang pria tua berpakaian lusuh ? siapa peduli bahwa mereka itu pahlawan? Bahkan aku tak tahu seorang yang telah berharga mengharumkan nama negeri ini, orang dewasa hanya mampu menasehati “kau harus sukses” tanpa pernah menceritakan sejarah seperti jaman dulu dimana para orang tua berdongeng kepada anak-anaknya menjelang tidur, aku hanya mendengar sejarah dari pelajaran disekolah! Bagaimana dengan mereka yang tidak sekolah? Membaca pun tentu tak bisa apalagi belajar sejarah .Mungkinkah sebuah tinta emas tersisa untuk mengukir nama Ayahnya sebagai seorang pahlawan ? sebagai bangsa yang besar dan tau berterimakasih seharusnya kita mampu menghargai jasa-jasa mereka…
Ade Emelan Tantri Melani
SMA Negeri 1 Gianyar